Kamis, 02 Mei 2013

Perkebunan Besar Kelapa Sawit Wilmar Tanpa Plasma


PT. Mustika Sembuluh, Tidak Ada Kata 20% Untuk Masyarakat Pondok Damar

Palangkaraya - Kesadaran para Investor rupanya belum memihak kepada masyarakat yang berada di kawasan konsesi perkebunan Wilmar di Kalimantan Tengah. Tercatat  20.515 Ha areal perkebunan yang beroperasi di Bumi Tambun Bungai ini, namun hanya 128 Ha saja areal perkebunan rakyat atau plasma yang sudah terbangun. Jika ditelisik lebih dalam bukan pemilik Perkebunan Besar Swasta (PBS) yang memiliki kebun Plasma melainkan beberapa koperasi, kelompok tani dan bukan milik Perusahaan Kelapa sawit yang di- miliki oleh Investor asing.

Menurut Direktur Save Our Borneo, Nordin, mengatakan di sela-sela kegiatannya berkunjung langsung ke Desa Pondok Damar dengan beberapa orang Journalis asing mengungkapkan “PT. Mustika Sembuluh yang beroperasi di desa Pondok Damar memiliki luasan perkebunan yang cukup luas yaitu 17,500 Ha,  yang dikeluarkan oleh Bupati Kotim,  namun  kebun plasmanya hanya 182 Ha dari rencana 250 Ha, namun  karena tidak ada lahan lagi yang  bisa disediakan masyarkat, karena masuk dalam wilayah desa lain, maka hanya ada 182 Ha yang bisa di realisasikan kepada masyarakat”.

Sedangkan menurut pengakuan Mingadi, Ketua Kelompok Tani Plasma Desa Pondok Damar, “kami sampai saat ini hanya baru menerima dana talangan sebesar 125.000/ ha. Sedangkan bagi hasil panen belum ada kejelasan  perhitungannya dan mereka tidak tahu Jumlah kredit plasma yang mendera mereka dibagian lain, saat  ini sudah  tahun ke-6 jalan tahun ke-7 belum jelas juga pembayaran kreditnya dan pihak perusahaa Wilmar/ Mustika Sembuluh belum menjelaskan apapun alasan terkait permsalahan tersebut”. Ucuapnya.

Terungkap beberapa fakta yang menyatakan bahwa para pemodal asing yang berinvestasi di kalteng hanya meraup keuntungan pribadi di bandingkan dengan melakukan pemberdayaan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan tersebut. Wilmar saja contohnya dari sekian ribu hectare luasan perkebunannya hanya ada beberapa ratus hectare saja yang menjadi kebun plasma di wilayah Kabupaten Kotim itupun masyarakat harus menerima hasil tak sesuai.

Kewajiban perusahaan untuk menyediakan plasma ini, sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 tahun 2011 tentang pengelolaan usaha perkebunan perkelanjutan di Kalteng. Dalam peraturan tersebut perusahaan perkebunan yang beroperasi di wilayah Kalteng untuk menyediakan perkebunan rakyat. Jika dilihat dari lamannya Perda tersebut, maka perusahaan perkebunan kelapa sawit wajib menyediakan perkebunan plasma bagi rakyat.

Direktur Save Our Borneo, Nordin, menegaskan bahwa ada beberapa point dari Kemitraan Perkebunan Kelapa Sawit/ sekilas Plasma dan ini juga di terapkan oleh perusahaan besar seperti Wilmar, dengan banyak sekali anak perusahaannya, sebut saja salah satunya adalah PT. Mustika Sembuluh (MS) yang beoperasi di Desa Pondok Damar, Kabupaten Kotim.

1. Tanah /lahan untuk kebun plasma adalah tanah/lahan yang berasal dari tanah warga, bukan tanah/lahan dari konsesi Perkebunan Inti yang disisihkan sejumlah tertentu untuk menjadi lahan plasma/kemitraan. Perusahaan tidak akan mau mengurangi areal konsesinya untuk dijadikan kebun plasma.

2. Setelah memastikan bahwa lahan/tanah masyarakat diserahkan untuk kebun plasma/kemitraan, perkebunan inti juga selalu menekankan agar lahan tidak ada permasalahan apapun, bila ada masalah sata itu atau kemudian hari, maka menjadi tanggungjwab warga atau koperasi warga. Perkebunan inti maunya enak sendiri, lepas tangan dalam hal penyelesaian masalah sengketa diareal plasma.

3. Ketika lahan/tanah telah diserahkan kepada perkebunan inti, untuk dikelola, maka lahan tersebut kemudian tidak dapat dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan inti. Meskipun kredit plasma telah lunas.

4. Perkebunan inti menyuruh plasma/kelompok mengurus ijin dan lain-lainnya dengan menyediakan dana talangan yang kemudian dianggap utang plasma. Dana talangan ini akan dimasukan sebagai utang plasma, meskipun alokasi penggunaannya tidak terlalu jelas, bahkan bias saja digunakan juga untuk praktik sogok, suap dan intertainment kepada pejabat yang berhubungan dengan izin.

5. Perkebunan inti mewajibkan plasma menjual hasil panen [Tandan Buah Segar] kepada kebun inti bahkan sampai setelah selesainya kredit plasma, yaitu sampai satu siklus tanam +/- 25 tahun.

6. Praktik seacara tidak transfaran mengenai harga dan tonase TBS yang diserahkan kepada pabrik dari perkebunan inti, kemudian dikatakan sebagai harga patokan pemerintah atau harga pasar.

7. Ikut campur menyeleksi anggota kelompok, bahkan tidak jarang management inti memasukan orang-orang yang menjadi koleganya, atau karyawannya atau bahkan top manajemen dari perkebunan inti sebagai peserta plasma, untuk mengamankan usahanya dan menguasai koperasi, baik itu pejabat ataupun lainnya.

8. Tidak transfaran dalam pengajuan dan pembayaran kredit ke bank. Kelompok plasma hanya disodorkan hasil akhir yang tidak pernah dilaporkan secara terbuka. Selain itu ada biaya-biaya yang seharusnya sudah ter-cover dari kredit yang diajukan ke bank masih dianggap sebagai biaya yang dikeluarkan oleh inti, sehingga inti memotong hasil panen lagi [selain biaya untuk pelunasan kredit], yaitu biaya operasional, biaya investasi, biaya sarana dan prasarana dan juga biaya siluman berupa management fee.

9. Setelah “dipaksa” menjual TBS kepada Pabrik kelapa sawit milik perkebunan inti, plasma masih harus juga menyetor / dipotong biaya sebesar 5% sebagai management fee dari hasil panen TBS.

10. berdalihPerkebunan inti memberikan bantuan untuk institusional building koperasi atau kelompok warga, tetapi dimasukan sebagai utang, yang mana jumlahnya juga tidak diketahui oleh koperasi/kelompok, sampai saatnya hutang koperasi/kelompok membengkak.

11. Sarana dan prasarana dalam dan dibangun untuk plasma [misalnya gudang, pondok karyawan plasma, saprodi dan lain-lain] dikuasi sepenuhnya oleh perusahaan inti, sementara biaya pembangunan sarana prasarana itu sebenarnya telah dibebankan / diambil dari biaya plasma dari hasil kredit bank dan bukan milik perkebunan inti.

12. Sertifikasi lahan plasma, termasuk skema pelunasaan dan kredit dengan agunan sertifikat plasma tidak dijelaskan dan seolah telah diserahkan sepenuhnya kepada inti, jika inti melakukan praktik “ngemplang” utang kepada bank, maka sertifikat plasma akan disandera bank seumur hidup dan anggota plasma akan gigit jari selamanya.

13. Perusahaan inti juga meminta secara memaksa dalam perjanjian untuk melakukan pemotongan didepan terhadap dana yang dikucurkan kredit dari bank sebesar 5 % dengan alasan biaya yang tidak jelas, yaitu biaya yang disebut inti sebagai “overhead”.

14. Inti selalu berusaha membodohi dan menjerat plasma dengan pasal perjanjian harus jual ke inti selama satu siklus tanam, padahal seharusnya ketika plasma telah melunasi kreditnya, maka keduanya akan menjadi para pihak yang bebas dan perjanjian harus ditinjau ulang.

15. Besarnya kredit tidak diketahui oleh pihak koperasi/kelompok plasma dan dan cicilan kredit tidak juga diketahui oleh koperasi plasma dimana pihak inti [sebagai avails] tidak melaporkan secara transparan berkala kepada koperasi plasma dan tidak ada ruang untuk koperasi melakukan audit.

16. Perjanjian yang dibuat inti diajukan untuk mengikat selama 1 siklus tanam bahkan sampai batas waktu yang tidak terbatas, hrsnya hanya sampai ketika kredit lunas, maka perjanjian harus diperbaharui, dan bila tidak terjadi kesepakatan baru nantinya, masing-masing pihak sudah bebas dan mandiri serta perikatan awal dinyatakan selesai.

Perda Tidak Memihak Kepada Rakyat

Sementara itu, Peraturan Daerah (Perda) Kalteng Nomor 5 tahun 2011 tentang Pengelolaan Usaha Perkebunan Berkelanjutan langsung menuai reaksi. Pasalnya, perda tersebut dinilai belum sepenuhnya berpihak pada rakyat.

Perda tersebut dinilai masih menguntungkan para pengusaha dan merugikan rakyat. Karena itu, Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang didesak harus meninjau kembali Perda tersebut.

Direktur Save Our Borneo (SOB) Nordin mengungkapkan hal itu. “Dari paparan dan dokumen cetak perda tersebut yang sudah final, terdapat ayat-ayat dalam pasal 18 Perda tersebut yang jelas-jelas sangat merugikan rakyat dan sangat menguntungkan investor perkebunan sawit,” katanya.

Ayat dimaksud tercantum dalam ayat (4) yang menyebutkan, bagi perusahaan perkebunan yang kebunnya telah terbangun tetapi belum melakukan pembangunan kebun bagi masyarakat sekitarnya, secara bertahap segera membangun kebun bagi masyarakat, dengan batasan waktu paling lambat 2 tahun sejak berlakunya Peraturan Daerah ini. Serta ayat (5), lahan untuk pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berasal dari lahan masyarakat sendiri, atau lahan lain yang jelas status kepemilikannya.

Menurut Nordin, yang jadi masalah adalah ayat 4, dimana sebenarnya yang menjadi tuntutan warga selama ini adalah lahan untuk pembangunan kebun masyarakat seharusnya berasal dari HGU (Hak Guna Usaha) perusahaan yang disisihkan untuk masyarakat seluas 20% dari luas HGU yang dimiliki perusahaan.

“Jika ketentuannya adalah seperti ayat 5, dimana Lahan untuk pembangunan kebun masyarakat berasal dari lahan masyarakat sendiri, maka akan terjadi beberapa hal, diantaranya, lahan untuk diversifikasi usaha masyarakat guna keperluan pertanian dan lainnya akan habis tergerus untuk sawit semuanya, sehingga akan lebih menampakan situasi monokultur yang sangat tidak ramah lingkungan. Akibatnya, investor kelapa sawit raksasa dapat mencari kambing hitam untuk menyalahkan rakyat sebagai pelaku kerusakan lingkungan,”

Kemudian, lanjut Nordin, ketahanan pangan dan kemampuan produksi pangan masyarakat secara mandiri ditingkat lokal akan hancur, karena alat produksinya hilang bersamaan dengan sawitisasi massif yang disokong kebijakan perda. Masyarakt tidak bisa lagi berladang, berkebun, berburu, atau lainya karena seluruh lahannya akan dan hanya menjadi kebun sawit, sementara PBS tidak sejengkalpun terusik karena mereka tidak diwajibkan menyerahkan 20% lahan HGU mereka untuk rakyat.

Akibat dari beberapa hal tersebut, tegas Nordin, akan muncul sengketa horizontal antar warga yang saling mengklaim lahan. Selain itu, akan memunculkan bisnis SKT tanah oleh makelar tanah. dan ini akan sangat berbahaya dalam jangka panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar